Postingan

Cerpen - Pelita Di Gubuk Reyot

Gambar
Gubuk reyot itu, berdiri di antara deretan rumah berdinding papan dan atap bocor, menjadi saksi bisu dari perjuangan seorang anak bernama Arya. Di usianya yang baru lima belas tahun, ia sudah mengerti betul arti kata “ bertahan” —bukan sekadar hidup, tapi berjuang untuk tak tenggelam dalam kemiskinan yang menggigit dari pagi hingga malam. Ayahnya, seorang pemulung, pulang dengan tubuh basah oleh peluh dan tas plastik berisi botol-botol kosong yang tak seberapa nilainya. Ibunya, dengan tangan kasar yang mulai mengeras oleh panas wajan dan dinginnya jalanan, menjajakan gorengan dari satu gang ke gang lain. Satu-satunya harapan mereka, satu-satunya cahaya yang menyala di tengah gelapnya hidup, adalah Arya. Buku-buku lusuh yang ia beli dari pasar loak menjadi sahabat sejatinya. Di bawah cahaya redup lampu minyak yang sering berkelap-kelip seperti hendak padam, Arya menyulam mimpi—bukan untuk dirinya semata, tapi untuk orang tua yang telah mengorbankan segalanya. “Aku harus bisa. Aku haru...

Cerpen - Bayangan Di Ujung Senja

Gambar
  Senja di Danau Limboto tak pernah terasa sesunyi hari itu. Langit jingga dipantulkan oleh air yang tenang, tapi di balik keindahan itu, Lintang merasa seolah danau menyimpan duka yang belum selesai. Di beranda rumah kayu tua di Desa Iluta—rumah peninggalan orang tuanya—ia duduk membisu, menatap genangan air yang kian menyusut tiap tahun, seperti kenangan yang perlahan tergerus waktu. Lintang sudah sepuluh tahun meninggalkan Jakarta. Dulu ia jurnalis idealis yang vokal, menggenggam kebenaran layaknya obor. Tapi sejak adiknya, Bara , hilang dalam kerusuhan aksi mahasiswa di ibu kota, semuanya berubah. Ia menanggalkan pena, memutus semua jaringan, dan mengasingkan diri di kampung halaman. Bara adalah segalanya baginya—adik sekaligus sahabat. Sejak orang tua mereka meninggal akibat kecelakaan di Tol Trans-Sulawesi, hanya mereka berdua yang saling menggenggam. Bara, si pemberani yang tak pernah takut bersuara. Bara, yang malam itu berkata dengan mata menyala: “Kak, kalau aku mat...

Cerpen - Bukan Malaikat

Gambar
Masih kosong. Tak ada satu pun angkot yang sedang mangkal. Tak ada keriuhan sopir dan calo memanggil-manggil calon penumpang. Dan ini berarti aku harus menunggu lebih lama lagi. Keluhku begitu saja tumpah ketika tiba di tempat biasa menunggu angkot untuk pulang.              “Makasih om”, ucapku setelah membayar sewa bentor dari tempatku bekerja. Ku edarkan pandangan sejenak mencari tempat berteduh sembari menunggu angkot. Di tempatku biasa menunggu sudah ada om-om bentor yang mangkal di sana. Pandanganku berhenti di bekas pos jaga petugas LLAJ seberang jalan. Di situ kayaknya lebih nyaman. Tanpa menunggu lama aku segera menuju ke sana. Tak jauh. Hanya sekitar 15 meter dari tempatku berdiri. Baru saja ku letakan tas jinjing, angkot langganan ku sudah tiba. Om Asri. Begitulah, kami para penumpang biasa memanggilnya. Kulirik tampilan ponsel. Pukul 14.30. Berarti satu setengah jam lagi aku bisa tiba di rumah.    ...

Cerita Fantasi - Kota Aquatik

Gambar
Indra melirik jam tangannya. Sudah menunjukan pukul 13.23 Wita. Di depan kelas terlihat temannya, Dadang, masih berusaha keras menceritakan kembali cerita fantasi yang telah ia baca. Di sampingnya Pak Risman, Guru Bahasa Indonesia kami, terus menyemangati. Tiba-tiba saja Indra merasa sangat ingin buang air kecil. “Pak, saya mau izin ke kamar kecil”, bisik Indra pada Pak Risman. “Iya..”, jawab Pak Risman tetap memandang ke arah Dadang. Indra segera berlari menuju ke arah kamar mandi yang letaknya di lantai satu bagian belakang sekolah kami. Tak ada siapapun disitu. Indra segera memutar gagang pintu kamar mandi ke dua khusus putra begitu ia sampai di depan kamar mandi. Baru hampir setengah pintu terbuka, ia segera melangkah masuk. Namun, belum sempat masuk ke dalam dan menutup pintu, Indra merasakan ada keanehan. Ada hal yang tak biasa terjadi pada tubuhnya. Belum habis rasa keanehannya, Indra tak sadarkan diri dan jatuh di lantai kamar mandi. Selang tak berapa lama Indra mulai sadar. Be...

Cerpen - Jejak

Gambar
Mengapa harus aku? Pertanyaan itu tak pernah terjawab hingga saat ini. Hingga jasadku yang kini terkoyak tak berbentuk. Berhamburan kemana saja. Tak berbentuk lagi. Namun, setidaknya ini lebih baik. Perjalananku yang panjang dan melelahkan ini akhirnya berakhir. Tak ada lagi penambahan dosa pada diriku ini. Tak ada lagi keluh kesah. Tak ada lagi keterpaksaan. Tak ada lagi. Aku merasa hidupku tak akan lama. Cahaya hidupku mulai redup. Suara-suara di sekitarku mulai samar-samar terdengar. Tak jelas. Ya, seperti hidupku yang tak jelas selama ini. Sia-sia dan kosong. Sekali lagi aku teringat perjalanan hidupku selama ini. Perjalanan yang tak ada seorangpun yang ingin menjalaninya. Kecuali jika ia bukanlah manusia yang tak memiliki perasaan. Aku lahir dikeluarga yang hidup berkecukupan. Bolehlah jika dikatakan juga keluarga berada. Ibu dan ayah memiliki pekerjaan tetap yang cukup menjanjikan. Buktinya kami bisa memiliki 2 mobil yang harganya setengah miliar. Adikku juga dibelikan sepeda mot...

Cerpen - Secangkir Kopi

Gambar
Pagi belum sepenuhnya datang, langit masih menggantungkan warna kelabu. Darto sudah berdiri di dapur sempit rumah kontrakannya. Tangannya mengaduk kopi dalam cangkir lusuh, pelan dan hati-hati, seolah setiap putaran sendok adalah doa yang ditumpahkan. Di meja makan yang penuh gores dan noda waktu, ia letakkan kopi itu di hadapan Mira, istrinya yang sedang duduk lelah dengan perut besar yang kian menegang jelang kelahiran. Mira menyambutnya dengan senyum pucat, menggenggam tangan Darto yang kasar dan dingin. “Kamu belum tidur lagi, ya?” suaranya pelan. Darto hanya menggeleng. Ia memang belum tidur. Tadi malam, selepas kerja parkir siang harinya, ia masih mengambil pekerjaan sebagai buruh bangunan demi tambahan uang untuk persalinan. Darto tak ingin Mira melahirkan di tempat seadanya. Ia ingin, walau sekali saja, memberikan yang terbaik. “Aku bisa kok kerja lagi, To,” ujar Mira dengan suara lirih. “Jangan. Kamu cukup jaga dia,” Darto menatap perut Mira sambil tersenyum. “Aku yang jaga ka...

Cerpen - Sepotong Roti

Gambar
Rumah itu tak pernah benar-benar sepi, meski hanya dihuni dua orang: Ibu dan Damar. Suara radio tua yang memutar lagu-lagu lawas selalu menemani pagi mereka. Tapi tidak dengan suara tawa. Sudah lama suara tawa hilang dari rumah itu—terkikis bentakan, amarah, dan diam yang menyesakkan. Damar berubah sejak ayahnya meninggal lima tahun lalu. Ia duduk di kelas dua SMP saat itu. Sejak hari pemakaman, matanya tak pernah lagi menatap ibunya dengan hangat. Ia mulai sering membangkang, pulang larut, berkawan dengan anak-anak jalanan, dan diam-diam mulai mencoba rokok yang dulu hanya ia lihat diselipkan di bibir para sopir angkot. Ibu tak pernah memukul. Tak pernah mengutuk. Hanya menasihati dan menunggu, seperti langit menanti hujan yang tak kunjung datang. “Dam, jangan pulang malam. Ibu khawatir,” ucapnya suatu malam, lembut. “Kalau Ibu khawatir, ya sudah, tidur aja! Saya bisa jaga diri!” Damar menepis tangan ibunya yang menyentuh lengannya. Sorot matanya dingin. Malam itu ia pulang pukul dua ...