Cerpen - Pelita Di Gubuk Reyot

Gubuk reyot itu, berdiri di antara deretan rumah berdinding papan dan atap bocor, menjadi saksi bisu dari perjuangan seorang anak bernama Arya. Di usianya yang baru lima belas tahun, ia sudah mengerti betul arti kata “bertahan”—bukan sekadar hidup, tapi berjuang untuk tak tenggelam dalam kemiskinan yang menggigit dari pagi hingga malam.
Ayahnya, seorang pemulung, pulang dengan tubuh basah oleh peluh dan tas plastik berisi botol-botol kosong yang tak seberapa nilainya. Ibunya, dengan tangan kasar yang mulai mengeras oleh panas wajan dan dinginnya jalanan, menjajakan gorengan dari satu gang ke gang lain. Satu-satunya harapan mereka, satu-satunya cahaya yang menyala di tengah gelapnya hidup, adalah Arya.
Buku-buku lusuh yang ia beli dari pasar loak menjadi sahabat sejatinya. Di bawah cahaya redup lampu minyak yang sering berkelap-kelip seperti hendak padam, Arya menyulam mimpi—bukan untuk dirinya semata, tapi untuk orang tua yang telah mengorbankan segalanya. “Aku harus bisa. Aku harus buktikan bahwa kita pantas bahagia,” ucapnya dalam hati, saban malam.
Siang hari, ia membantu ibunya membuat adonan, membungkus gorengan, bahkan ikut mengantar dagangan. Tapi begitu waktu senggang tiba, ia akan duduk di sudut rumah yang paling terang—dekat jendela kecil, menghadap cahaya matahari yang malu-malu masuk di sela-sela dinding bambu. Di sana, suara anak-anak lain bermain menjadi gema jauh. Dunia Arya hanyalah buku, pena, dan cita-cita.
Ia rela menahan lapar agar bisa membeli buku latihan, meski hanya yang bekas dan sobek. Baginya, setiap halaman adalah tiket menuju masa depan. Setiap rumus yang berhasil dipahami adalah satu tangga menuju perubahan.
Menjelang Ujian Nasional, perjuangannya semakin tak kenal lelah. Malam-malam panjang ia habiskan dengan kepala tertunduk, mata merah menahan kantuk. Tak jarang tubuhnya goyah, tetapi semangatnya tetap tegak. Ibunya, yang kadang terbangun, mendekatinya dengan pelan dan menyelimutinya sambil berbisik, “Nak, jangan terlalu keras. Ibu takut kamu sakit…”
Tapi Arya hanya tersenyum. Senyum kecil yang membuat hati ibunya tercekat. Senyum yang seperti berkata: "Bu, aku tahu ini berat. Tapi aku kuat, demi Ibu dan Ayah."
Dan akhirnya, hari itu tiba. Hari pengumuman.
Arya menggenggam tangan ibunya dengan erat. Jari-jari ibunya dingin dan gemetar. Ketika namanya disebut sebagai salah satu lulusan terbaik, tubuh ibunya langsung lunglai dalam pelukannya. Air mata meleleh tanpa henti, membasahi pipinya yang keriput karena letih bertahun-tahun.
Ayahnya datang terlambat—napasnya masih tersengal karena berlari dari tempat kerja. Tapi begitu melihat anaknya memegang surat kelulusan, ia langsung memeluknya kuat-kuat, memeluk dengan tangis lelaki yang terlalu lama disimpan. "Kamu hebat, Nak... kamu hebat..." bisiknya berulang-ulang.
Malam itu, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, mereka makan malam dengan perasaan yang hangat. Nasi hangat, ikan asin, dan sambal terasa seperti jamuan istana. Tawa kecil terdengar dari gubuk itu. Arya duduk tenang, senyum tak lepas dari wajahnya.
Namun kebahagiaan itu tak bertahan lama.
Pagi harinya, saat ibunya hendak membangunkannya untuk sarapan, Arya tak bergerak. Wajahnya masih menyimpan senyum lembut, seperti baru saja meraih sesuatu yang telah lama diimpikan. Tapi tubuhnya dingin. Diam. Terlalu tenang.
“Iya... Arya... ayo bangun, Nak… Sudah pagi...” suara sang ibu bergetar.
Tidak ada sahutan. Hanya keheningan yang menjawab.
“Iya... jangan main-main, Arya…” bisiknya lagi, kini dengan nada yang mulai panik.
Ayahnya datang menghampiri, wajahnya langsung pucat. Ia menyentuh pundak Arya, mengguncangnya pelan, lalu keras. Tapi tubuh itu tak lagi merespon. Tangis sang ibu pecah. Luruh. Menghancurkan pagi yang baru saja dimulai.
Arya telah pergi.
Tubuh mungilnya tak mampu menanggung beban perjuangan yang terlalu berat untuk usianya. Ia telah memberikan semua—waktu, tenaga, harapan, bahkan hidupnya—untuk mimpi yang ia titipkan pada nama orang tuanya.
Di lantai rumah, berserakan buku-buku yang menjadi saksi bisu perjuangan seorang anak luar biasa. Di salah satu buku, terselip secarik kertas. Di atasnya tertulis dengan tulisan tangan sederhana:
“Kelulusan ini untuk Ibu dan Ayah. Terima kasih karena selalu percaya padaku.”
Kata-kata itu kini menjadi luka yang tak akan pernah sembuh. Tapi juga menjadi warisan, bahwa Arya bukan hanya anak, tapi pahlawan dalam sunyi. Pelita kecil itu memang telah padam, tapi cahayanya akan selalu hidup dalam hati dua orang tua yang kini kehilangan segalanya—kecuali kenangan tentang anak mereka yang luar biasa.
Komentar
Posting Komentar