Cerpen - Bayangan Di Ujung Senja
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Senja di Danau Limboto tak pernah terasa sesunyi hari itu. Langit jingga dipantulkan oleh air yang tenang, tapi di balik keindahan itu, Lintang merasa seolah danau menyimpan duka yang belum selesai. Di beranda rumah kayu tua di Desa Iluta—rumah peninggalan orang tuanya—ia duduk membisu, menatap genangan air yang kian menyusut tiap tahun, seperti kenangan yang perlahan tergerus waktu.
Lintang sudah sepuluh tahun meninggalkan Jakarta. Dulu ia jurnalis idealis yang vokal, menggenggam kebenaran layaknya obor. Tapi sejak adiknya, Bara, hilang dalam kerusuhan aksi mahasiswa di ibu kota, semuanya berubah. Ia menanggalkan pena, memutus semua jaringan, dan mengasingkan diri di kampung halaman.
Bara adalah segalanya baginya—adik sekaligus sahabat. Sejak orang tua mereka meninggal akibat kecelakaan di Tol Trans-Sulawesi, hanya mereka berdua yang saling menggenggam. Bara, si pemberani yang tak pernah takut bersuara. Bara, yang malam itu berkata dengan mata menyala:
“Kak, kalau aku mati karena menyuarakan yang benar, maka aku mati bahagia.”
Dan itu adalah malam terakhir Lintang mendengar suaranya.
Yang kembali hanyalah sebuah tas kecil berisi catatan puisi-puisi kelam, dan secarik kertas:
“Jika aku hilang, bukan berarti aku diam.”
Sejak itu, Lintang hidup dalam dua dunia: dunia nyata yang sepi, dan dunia batin yang terus menolak kehilangan. Setiap tanggal 1 Juni, ia pergi ke tepi danau, duduk diam, berharap Bara muncul dari balik ilalang, tersenyum dan berkata semua ini hanya prank berlebihan.
Tapi tahun ini berbeda.
Sore itu, di antara tumpukan koran lama, ia menemukan amplop cokelat tua diselipkan di bawah pintu. Tanpa nama. Tanpa stempel. Di dalamnya hanya secarik kertas dengan tulisan tangan miring:
“Taman Wisata Iluta. Pukul 7 malam. Sendiri. Jangan percaya pada bayangan yang pernah kau peluk.”
Lintang gemetar. Pesan itu tak mungkin dari orang asing.
***
Lintang tiba di taman sebelum waktu yang ditentukan. Taman itu sudah nyaris terbengkalai. Bangku kayu berlumut, lampu jalan mati, dan pohon beringin besar menjulang seperti saksi bisu. Itu tempat favorit Bara dulu saat ingin menyendiri. Tempat mereka berbagi mimpi, tawa, dan sesekali air mata.
Lintang berdiri dengan tubuh menggigil meski udara tidak sedingin itu. Kepalanya penuh pertanyaan:
Apakah ini jebakan? Apakah aku terlalu putus asa hingga mudah percaya? Apakah aku sedang menuju akhir hidupku sendiri?
Lalu ia mendengar langkah.
Perlahan. Pasti.
Dari balik semak, seseorang muncul—pria kurus dengan jenggot tipis dan topi lusuh. Lintang menyorotkan senter ke wajahnya, dan seketika tubuhnya lemas.
“Lintang…” suara itu parau. Goyah. Tapi jelas. “Ini aku.”
Lintang menahan napas. “Bara…?”
Air matanya luruh sebelum ia sempat berpikir. Wajah itu mungkin lebih tua, lebih keras, tapi luka di alis kanan itu, dan cara ia berdiri yang sedikit miring ke kiri, semuanya adalah milik adiknya.
Lintang berlari memeluknya. Tapi tubuh itu tidak balas memeluk. Bara tetap berdiri kaku.
“Aku... tak bisa lama. Kita diawasi,” katanya lirih.
“Selama ini kau di mana?” suara Lintang patah. “Sepuluh tahun, Bara. Sepuluh tahun aku hidup seperti orang mati.”
Bara menghela napas berat. “Aku tidak bisa memilih. Malam itu… aku diculik. Tapi bukan oleh polisi. Ada kelompok—bayangan dalam pemerintahan—yang menculik orang-orang seperti aku. Orang yang tahu terlalu banyak. Seorang wartawan senior dari Gorontalo—orang yang Kakak kenal juga—menyelamatkanku dan menyembunyikan identitasku sebagai buruh tani di Bone Bolango. Tapi ia sudah meninggal dua bulan lalu.”
Lintang membeku. Dunia seperti jungkir balik. “Kenapa sekarang? Kenapa bukan dari dulu kau kirim pesan?”
“Karena sekarang mereka tahu aku masih hidup. Aku tak bisa sembunyi selamanya. Aku harus bicara. Tapi aku tidak akan bisa bertahan lama kalau sendiri.”
Lintang menatap adiknya, masih mencoba mencocokkan kenyataan dengan harapan lama yang nyaris padam. “Aku akan membantumu.”
“Tidak,” Bara menggeleng. “Kau sudah terlalu terluka karena aku. Aku hanya ingin—”
“Cukup!” Lintang menggenggam tangan adiknya. “Kita pernah bilang, satu-satunya hal yang kita miliki tinggal suara dan kebenaran. Kalau kau mau bicara, kita akan bicara. Bersama.”
Tapi suara motor terdengar dari kejauhan. Dua cahaya lampu menembus kegelapan dari arah jalan desa.
Bara menatap kakaknya. “Mereka sudah dekat. Aku harus pergi. Aku akan menghubungimu lewat orang tua di rumah panggung dekat masjid tua. Ingat itu.”
Lintang hendak menahan, tapi adiknya sudah berlari ke arah danau, menghilang seperti bayangan di ujung senja.
****
Richman eR_eL
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komentar
Posting Komentar